Kerukunan
Beragama
Dalam negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), termasuk di daerah kita terdapat beberapa jenis agama yang berbeda.
Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan yang ada dilihat dan dinilai sebagai
kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang berbeda bisa saling menghargai
atau menghormati, saling belajar, saling menimbah serta memperkaya dan
memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan masing-masing. Perbedaan tidak
perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding,
pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki. Kaum beriman dan
penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan
damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling
mengasihi.
Namun dalam sejarah kehidupan umat beragama, sering
terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan dijadikan sebagai pemicu atau
alasan pertentangan dan perpecahan. Di banyak tempat, termasuk di Maluku, telah
terjadi konflik berdarah dan berapi yang menelan banyak korban manusia dan
harta benda, serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan di pelbagai bidang, di
lingkungan kita. Unsur-unsur keagamaan dijadikan sebagai pemicu dan sasaran
penghancuran dalam konflik tersebut.
Menurut pemahaman teoritis dan pengakuan “oral” banyak
pihak, agama bukan dan tidak boleh dipandang serta dijadikan sebagai pemicu
konflik dan perpecahan, melainkan adalah dan harus dipandang serta dijadikan
sebagai penunjang perdamaian dan persatuan.
Namun kenyataannya dalam perilaku atau tindakan
orang-orang tertentu, entah dengan sengaja atau tidak, agama dipakai sebagai
pemicu konflik dan perpecahan.
Bahkan ada orang-orang tertentu yang menganggap dan
menjadikan agama sebagai dasar atau alasan untuk tidak boleh hidup bersama atau
harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan orang yang berbeda
agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan membinasakan orang-orang yang
beragama lain
Kenyataan bahwa unsur-unsur keagamaan dijadikan
sebagai pemicu serentak sasaran konflik, baik pada tingkat lokal dan nasional
maupun internasional akhir-akhir ini, tentu memprihatinkan dan mencemaskan
banyak orang, terutama bagi kita bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat Maluku
khususnya, yang berciri majemuk.
Persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan, perdamaian dan ketenteraman serta
kebersamaan, persekutuan dan kerjasama akan terancam, terganggu dan merosot.
Timbul kecemasan akan konflik, kekerasan, perpecahan dan kehancuran yang
sewaktu-waktu bisa terjadi. Cukup banyak orang cemas akan ancaman terhadap
kesatuan dan persatuan bangsa, atau akan terjadinya disintegrasi bangsa, yang
dipicu dengan issu agama.
Maka kita
perlu memberi perhatian khusus pada permasalahan yang ada, mendalami serta
mengupayakan langkah-langkah penyelesaian maupun antisipatif. Perlu diupayakan peningkatan akan pemahaman, penghayanan,
implementasi dan pelestarian akan :
1. wawasan kebangsaan kita seperti tersurat dan tersirat
dalam falsafah bangsa seperti : “Bhineka Tunggal Ika”, “Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh”, maupun kearifan-kearifan lokal seperti “pela”
dan “gandong”, “ain ni ain” (Kei = satu punya satu), dll;
2. kekeluargaan dan
persaudaraan sejati antar suku,
ras, golongan, daerah dan agama;
3. kerukunan dan toleransi antar umat beragama maupun suku, ras dan golongan.
Untuk itu
kita perlu upaya pengkajian dan pemahaman tentang inti permasalahan kita dan
sebab-musebabnya, tatacara mengatasi dan mencegahnya, serta dasar pijak dan
pedoman arah dari langkah kita.
Secara umum kerukunan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana tercipta suatu keseimbangan sosial dalam masyarakat. Kerukunan ini juga bisa diartikan sebagai keadaan atau situasi bebas konflik. Bila ditinjau lebih jauh terutama bila dilihat dari kata dasarnya, rukun, maka kerukunan bukan hanya sebagai suatu situasi atau kondisi semata tetapi lebih dari itu kerukunan mencerminkan suatu relasi yang intim antar individu ataupun kelompok dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat atau beragama.
Kerukunan dalam
hidup beragama
Dalam hidup beragama, kerukunan lebih dilihat sebagai suatu keadaan dimana tercipta saling pengertian, saling menghormati antar pemaluk agama. Kerukunan dalam hidup beragama manjadi suatu hal yang penting manakala kita dalam kehidupan bersama, dalam hal ini mencakup kebersamaan kita dalam berbangsa dan bernegara; dihadapkan pada kondisi kemajemukan, seperti yang dialami oleh Negara kita saat ini.
Kemajemukan di negara kita ini mencakup begitu banyak aspek dan salah satunya adalah agama/kepercayaan/religiusitas. Hemat kami, kerukunan tercipta manakala setiap pemeluk agama mengerti dan memahami apa yang diajarkan agamanya. Selain itu, hal yang tak kalah penting ialah bahwa setiap umat beragama harus menyadari bahwa negara kita ini adalah negara yang majemuk, sehingga tidak ada agama yamg merasa diri sebagai agama yang benar, mengatasi agama-agama lainnya. Bila umat beragama sadar, menghormati kemajemukan beragama, maka kerukunan antar umat beragama bisa tercipta.Kerukunan beragama merupakan pokok dari semua kerukunan. Karena jika kerukunan bergama sudah terwujud maka kerukunan dalam bidang lain dapat juga terwujud dengan baik.
Dalam hidup beragama, kerukunan lebih dilihat sebagai suatu keadaan dimana tercipta saling pengertian, saling menghormati antar pemaluk agama. Kerukunan dalam hidup beragama manjadi suatu hal yang penting manakala kita dalam kehidupan bersama, dalam hal ini mencakup kebersamaan kita dalam berbangsa dan bernegara; dihadapkan pada kondisi kemajemukan, seperti yang dialami oleh Negara kita saat ini.
Kemajemukan di negara kita ini mencakup begitu banyak aspek dan salah satunya adalah agama/kepercayaan/religiusitas. Hemat kami, kerukunan tercipta manakala setiap pemeluk agama mengerti dan memahami apa yang diajarkan agamanya. Selain itu, hal yang tak kalah penting ialah bahwa setiap umat beragama harus menyadari bahwa negara kita ini adalah negara yang majemuk, sehingga tidak ada agama yamg merasa diri sebagai agama yang benar, mengatasi agama-agama lainnya. Bila umat beragama sadar, menghormati kemajemukan beragama, maka kerukunan antar umat beragama bisa tercipta.Kerukunan beragama merupakan pokok dari semua kerukunan. Karena jika kerukunan bergama sudah terwujud maka kerukunan dalam bidang lain dapat juga terwujud dengan baik.
NILAI – NILAI YANG PERLU
DIKEMBANGKAN UNTUK MENJALIN KERUKUNAN HIDUP ANTARUMAT BERAGAMA
1.
Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya;
2.
Saling
hormat menghormati, menghargai dan bekerja sama antara pemeluk agama, antara
berbagai golongan agama dan antara umat beragama dengan pemerintah yang sama -
sama bertanggung jawab membangun bangsa dan negara;
3.
Saling
tenggang rasa dengan tidak memaksakan agama kepada orang lain;
4.
Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban setiap manusia, tanpa membedakan
suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan
lain-lain;
5.
Saling
menolong dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
FUNGSI
KERUKUNAN HIDUP ANTARUMAT BERAGAMA
1.
Menjaga
ketentraman masyarakat;
2.
Saling
menghormati antar umat beragama;
3.
Mencegah
terjadinya pertentangan antara agama yang satu dengan yang lainnya;
4.
Mempersatukan
perbedaan antarumat beragama.
SIKAP - SIKAP ANTARUMAT BERAGAMA
1. Sikap
Eksklusivisme : sikap yang hanya mengakui agamanya yang paling benar dan baik.
2. Sikap
Inklusivisme : sikap yang dapat memahami dan menghargai agama lain dengan
eksistensinya, tetapi tetap memandang agamanya sebagai satu - satunya jalan
menuju keselamatan.
Misalnya agama Kristen dapat mengakui keberadaan
agama lain tetapi keselamatan hanya melalui YESUS KRISTUS.
3. Pluralisme :
sikap yang menerima, menghargai, dan memandang agama lain sebagai agama yang
baik serta memiliki jalan keselamatan.
Dalam perspektif pandangan seperti ini, maka tiap umat
beragama terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog dan kerja sama
dalam rangka kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengharapan.
Pluralisme bangsa Indonesia merupakan keunikan serta
kekayaan yang harus disyukuri. Hidup dalam masyarakat bangsa yang pluralis
dangan sendirinya menuntut sikap toleransi serta solidaritas yang tinggi dan
hal itu menghasilkan suatu dunia baru dimana masyarakat menjadi sangat
heterogen dalam suatu wilayah tempat tinggal, maka solidaritas dan toleransi
telah menjadi syarat utama dalam membangun kehidupan bersama.
4. Fundamentalisme
agama adalah suatu sikap hidup beragama yang militan, yang juga tidak
menghendaki idiologi - idiologi lain hidup disampingnya karena nilai-nilai
kebenaran hanya ada pada dirinya.
KERUKUNAN DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PANCASILA DAN
UUD 1945
Titik pijak dari pengembangan kerukunan adalah
pancasila dan pembukaan UUD 1945 yang dituangkan dalam sila ke 5 tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ” dan
UUD 1945 pasal
29 ayat 1 dan 2 mengatakan tentang:
1.
Negara
berdasarkan ketuhanan yang maha esa,
2.
Negara
menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing -
masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralis dari
segi suku, agama dan budaya kita. Berbagai arus pemikiran modern, setiap agama
berbulat dengan persoalan adaptasi, dialog sekaligus identitas. Disatu pihak
agama harus berakar pada sejarah dan tradisi, tetapi agama harus membuktikan
diri sebagai kekuatan atau gerakan liberatif yang terbuka terhadap dialog dan
kerja sama. Sikap pluralisme menjadi jembatan terciptanya toleransi,
persaudaraan dan persahabatan antarumat beragama, antar suku dan bangsa.
Fakta bahwa
ada konflik dan kekerasan maupun perpecahan dan penghancuran yang berkaitan
dengan agama disebabkan karena :
- Perbedaan yang ada salah dipahami dan salah disikapi, dan tidak dilihat dan ditanggapi secara positif serta tidak dikelola dengan baik dalam konteks kemajemukan.
- Fanatisme yang salah. Penganut agama tertentu menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, mau “menang sendiri”, tidak mau menghargai, mengakui dan menerima keberadaan serta kebenaran agama dan umat beragama yang lain.
- Umat beragama yang fanatik (secara negatif) dan yang terlibat dalam konflik ataupun yang menciptakan konflik adalah orang-orang yang pada dasarnya :
- kurang memahami makna dan fungsi agama pada umumnya;
- kurang memahami dan menghidupi agamanya secara lengkap, benar, mendalam;
- kurang matang imannya dan takwanya;
- kurang memahami dan menghargai agama lain serta umat beragama lain;
- kurang memahami dan menghargai hakekat dan martabat manusia;
- kurang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang universal, terutama hati nurani dan cinta kasih;
- kurang memahami dan menghidupi wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan yang khas Indonesia, yakni kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Oleh sebab
itu permasalahan yang timbul, ataupun yang dikhawatirkan akan timbul, dapat diatasi atau dicegah dengan upaya
peningkatan pemahaman dan implementasi yang memadai dari kekurangan-kekurangan
tersebut, terutama peningkatan kwalitas
iman dan takwa, hati nurani dan cinta kasih. Hal ini dapat dilaksanakan
dengan:
- Mengembangkan Dialog atau komunikasi timbal balik, yang dilandaskan pada kesadaran akan :
- adanya kesamaan maupun perbedaan yang tak dapat diingkari dan disingkirkan, sesuai hakekat atau harkat dan martabat manusia;
- adanya kesamaan nilai-nilai serta permasalahan dan kebutuhan yang universal, yang berkaitan dengan kemanusiaan, seperti kebenaran, keadilan, HAM, persaudaraan dan cinta kasih;
- adanya fakta kehidupan bersama dalam kemajemukan serta hubungan dan ketergantungan satu sama lain;
- mutlak perlunya kerukunan dan damai sejahtera, persatuan dan kerjasama dengan prinsip keadilan, saling menguntungkan, saling menghargai, saling terbuka dan saling percaya.
- Mengevaluasi dan memperbaiki sistem dan bobot pendidikan dan pembinaan, baik yang khas keagamaan maupun yang bukan khas atau yang bersifat umum, untuk menambah pengetahuan, mematangkan iman, meningkatkan moral dan spiritual, memantapkan kepribadian;
Sasaran pendidikan dan pembinaan bukan hanya pada aspek intelektual dan ketrampilan,
tetapi juga pada budi pekerti
dan hati nurani (moral dan
spiritual) serta emosionalitas
dan perilaku, pola pikir dan pola hidup.
- Mencermati, mengevaluasi dan membaharui doktrin dan praktek-praktek keagamaan yang terlalu atau bahkan hanya formal dan ritualistik belaka agar lebih fungsional atau berdaya-guna secara tepat dan efektif bagi pemantapan kwalitas diri dan kehidupan penganutnya pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya.
- Mengembangkan hidup bersama, kegiatan bersama dan kerjasama secara proporsional yg dilandaskan pada kesadaran akan kebutuhan dan ketergantungan satu sama lain sebagai konsekwensi hidup bersama serta kesamaan martabat dan hak sebagai manusia.
DASAR KERUKUNAN DAN
TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA
Dasar atau
landasan dari ketiga cara untuk membangun kerukunan dan toleransi antar umat
beragama sebagaimana yang telah dikemukakan adalah hakekat dan martabat
kemanusiaan, realita sosial yang ada, ideologi keagamaan yang dianut dan
dicita-citakan, dan komitment konstitusional yang dicanangkan.
Dasar Kemanusian (Filosofis)
Kerukunan
dan toleransi antar umat beragama merupakan konsekwensi serta kebutuhan hakiki
dari kemanusiaan yang universal, yang tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan
oleh setiap insan beragama karena manusia pada hakekatnya adalah makhluk hidup
yang :
- individual dan serentak komunal yang hidup bersama, mengelompokkan diri atas dasar tertentu, saling membutuhkan, saling berelasi, saling mempengaruhi;
- yang memiliki kesamaan martabat, nilai-nilai kemanusiaan, dan hak asasi, eksistensi atau keberadaan, permasalahan dan kebutuhan, ideologi dan cita-cita
- dan serentak memiliki kekhasan yang membedakan individu yang satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
- yang memiliki kebebasan batiniah (kehendak) dan lahiriah (tindakan), namun serentak dapat pula mempengaruhi dan dipengaruhi;
- yang memiliki kecenderungan “egositis” maupun “altroistis”, baik secara individual maupun komunal;
- yang mempunyai akal budi, hati nurani dan keutamaan untuk memikirkan dan mengetahui, menilai dan memutuskan, serta bertindak atau berbuat;
- yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma: adat/budaya, kenegaraan, keagamaan.
Penghargaan
terhadap agama/umat beragama lain, hidup rukun dan damai dengan umat beragama
lain, bukan hanya merupakan kebutuhan dan tuntutan atau kewajiban keagamaan,
tetapi lebih luas dan dalam dari itu, yaitu karena kemanusiaan. Kerukunan dan toleransi antar sesama manusia,
baik yang beragama maupun yang tidak beragama, merupakan tuntutan kebutuhan dan
kewajiban kemanusiaan dari setiap orang (termasuk orang yang tidak beragama).
Kerukunan dan toleransi antar umat beragama merupakan konsekwensi dari hakekat
kemanusiaan kita.
Oleh sebab
itu bila ada orang yang merusakkan atau menolak kerukunan dan toleransi antar
umat beragama, sama dengan ia merusakkan atau menolak kemanusiaan.
Apakah kita
menghendaki demikian ? Kiranya tidak ! Oleh sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum
ataupun kelompok yang mencoba merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha
untuk membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama, karena dan demi kemanusiaan (harkat dan
martabat manusia) yang universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar