Perang Suku
di Lampung
Munculnya
berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa
potensi konflik tak segera selesai dengan terbukanya keran demokratisasi. Dalam
konteks Indonesia, Baladas Goshal (2004) telah memperingatkan, terlepas sisi
positif yang dibawanya, demokratisasi juga memberikan peluang bagi meluasnya
potensi konflik.
Belum lama
ini konflik besar kembali terjadi. Kali ini menimpa Lampung Selatan, tepatnya
di wilayah Kalianda. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang diduga
sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan korban jiwa ini, sebenarnya
hanyalah puncak dari gunung es.
Dilihat dari
akar penyebabnya, kasus Lampung—dalam batas-batas tertentu— dapat dikatakan
bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial,
yang mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalbar, dan
sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat konflik
antarkampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor
ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang
berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat, yakni
etnis Lampung dan Bali.
Sejak
kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa persoalan
tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup
”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena
menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat
kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah
dalam nuansa yang eksklusif (enclave).
Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan
lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung Utara.
Meski secara
kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang dapat
diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan mencegah konflik, tetapi dalam
berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan lokal itu seolah sirna.
Masyarakat
Lampung punya kearifan lokal berupa Piil
Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal kehormatan diri
yang muncul karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di
sini kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang,
merupakan salah satu inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan
ajaran Bhinneka Tunggal
Ika, Tatwam
Asi (kamu adalah aku dan aku adalah kamu) dan Salunglung Sabayantaka,
yang mengajarkan demikian dalam arti penting hidup berdampingan secara damai.
Situasi di
Lampung ini cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan.
Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya, mengalami penyempitan makna
sekadar membela harga diri. Alih-alih dikaitkan keharusan kedewasaan
berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi alasan pembenaran untuk
menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga diri. Sementara
respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kedamaian dan
toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.
Tentu saja,
persoalan primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan
ini berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara
kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan
komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik
kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan sosial
antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat dan
menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan pemantiknya.
Di
mana negara?
Lepas dari
itu, kasus kerusuhan Lampung ini sebenarnya dapat segera tertanggulangi dengan
baik jika aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, dapat memainkan peran yang
lebih signifikan. Sebagai institusi yang menetapkan peran preventif
(pencegahan) sebagai bagian tugas pokoknya, kepolisian seharusnya sejak dini
dapat mendeteksi dan mengantisipasi potensi apa yang akan terjadi ke depan.
Dengan
sederet institusi pelengkap untuk mendeteksi segenap potensi negatif yang ada
di masyarakat, kepolisian jelas salah satu institusi yang seharusnya dapat
memimpin dalam soal-soal yang terkait dengan keresahan masyarakat. Apalagi
kenyataan bahwa kasus Lampung terakhir ini bukanlah kasus yang benar-benar baru
sebab memiliki preseden di awal tahun ini yang cukup terang benderang.
Namun, justru
di sinilah letak persoalan lain dari kasus Lampung—juga berbagai kasus konflik
horizontal akar rumput lainnya—di mana peran aparat keamanan terlihat demikian
kedodoran. Dengan demikian, tidak aneh jika kemudian masyarakat mempertanyakan
kualitas SDM, efektivitas strategi atau bahkan komitmen dari aparat keamanan
kita.
Persoalan
lain adalah sikap pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang masih
memercayakan kemampuan masyarakat dan tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan
persoalan konflik secara mandiri. Dalam hal ini resolusi konflik sebenarnya
belum terlembaga secara memadai. Untuk itu, diperlukan upaya membentuk dan
merevitalisasi lembaga-lembaga, baik adat maupun pemerintahan, yang terkait
dengan persoalan primordial itu secara lebih serius. Tujuan utamanya jelas agar
potensi konflik yang melibatkan unsur etnis dapat menemukan jalur penyelesaian
secara lebih cepat, berkeadilan, dan komprehensif.
Solusi jangka
pendek adalah segera menyelesaikan persoalan itu secara tepat, dengan sesedikit
mungkin menimbulkan resistensi dari kalangan yang terlibat. Di sini diperlukan
kerja sama banyak pihak. Tidak saja dari kalangan masyarakat, tokoh-tokoh,
ataupun ormas, tetapi juga aparat dan pemerintah, termasuk pengadilan. Dalam
perspektif manajemen resolusi konflik pihak ketiga, dalam hal ini pengadilan
atau institusi yang dipercaya dapat memainkan peran itu, memainkan peran yang
amat krusial. Kegagalan pada level ini kerap akan cenderung memberikan preseden
negatif dan memperburuk situasi.
Dalam konteks
jangka menengah, solusi yang mungkin adalah memperbaiki kinerja dan
profesionalisme aparat keamanan agar dapat lebih sensitif dan efektif mencegah
serta menyelesaikan rangkaian konflik sejak dini. Dibutuhkan pula sebuah desain
besar dan pelembagaan pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih
kontekstual dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan masyarakat
di dalamnya.
Dalam konteks
jangka panjang, jelaslah bahwa persoalan segregasi primordial dan disparitas
ekonomi yang selalu jadi biang keladi kemunculan konflik harus dapat direduksi
semaksimal mungkin.
Provinsi
Lampung yang berada di ujung timur pulau sumatera ini memang memiliki keunikan
tersendiri jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di sumatera. Di provinsi
yang berpenduduk 7.608.405 jiwa (sensus 2010) ini ditempati oleh berbagai suku,
selain suku asli lampung sendiri di provinsi tersebut juga banyak penduduk /
suku yang berasal dari Semendo (sumsel), Bali, Lombok, Jawa,
Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar,
warga keturunan, dan Warga asing (China, Arab).
Konflik di Lampung
Salah satu
keunikan lainnya dari provinsi lampung ialah banyak nama daerah / kecamatan nya
yang dinamai seperti nama daerah di pulau jawa, seperti bantul, wates,
wonosari, sidoarjo dsb. Hal tersebut bisa terjadi karena memang sejak
zaman dahulu ( belanda ) provinsi lampung adalah salah satu tempat tujuan transmigrasi
besar – besaran dari tanah jawa. Bahkan banyak masyarakat Lampung suku
Jawa yang belum pernah menginjakkan kakinya di Pulau Jawa.
Jika Anda
berkunjung ke Lampung, jangan heran menyaksikan jumlah suku asli lampung lebih
sedikit dibandingkan suku-suku pendatang lainya. Bahasa yang digunakan sehari –
hari pun adalah bahasa Indonesia, berbeda dengan provinsi yang bertetangga
dengan lampung seperti bengkulu dan sumatera selatan yang masih menggunakan
bahasa daerah masing – masing sebagai alat komunikasi. Bahkan di beberapa kota atau daerah di lampung bahasa jawa digunakan sebagai bahasa komunikasi.
Tentunya
dengan berbaurnya berbagai macam suku tersebut maka tingkat kecenderungan untuk
terjadinya konflik pun semakin tinggi. Sebenarnya konflik – konflik antar suku
sudah sering terjadi di provinsi lampung baik itu antara suku asli lampung
dengan bali seperti yang terjadi saat ini, maupun jawa dengan bali atau lampung
dengan jawa. Kenapa hanya ketiga suku tersebut yang sering terlibat konflik ?
ya memang karena ketiga suku tersebutlah populasinya yang paling banyak.
Di beberapa
daerah di lampung kita bisa menemukan sebuah desa yang seluruh penduduknya
berisi orang bali. Di tempat tersebut juga biasanya terdapat sebuah pura besar
tempat mereka melakukan kegiatan agama, sama persis seperti keadaan di bali.
Pada sisi
lain masyarakat asli Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri
dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan
terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima
penduduk pendatang. Tetapi dengan seiring waktu falsafah hidup tersebut mulai
luntur dikarenakan berbagai macam hal.
Suku asli
Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para pendatang, mereka
menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi memang terkadang para
pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk asli lampung. Sebagai tuan
rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa
dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan masalah “harga
diri”.
Konflik
antar suku dilampung memang bukan merupakan sebuah hal baru, konflik tersebut
sudah pernah terjadi sebelumnya dan pemicunya hanyalah berawal dari masalah
sepele. Bahkan di tempat yang sama dengan saat ini terjadi perang suku saat ini
yaitu di Sidorejo kecamatan Sidomulyo juga pernah terjadi pada bulan januari
2012 kemarin, pemicunya adalah perebutan lahan parkir. Berikut ini beberapa
perang antar suku yang pernah terjadi di Lampung :
- Pembakaran pasa Probolinggo Lampung Timur oleh
suku bali.
- 29 Desember 2010 : Perang suku Jawa / Bali vs
Lampung berawal dari pencurian ayam.
- September 2011 : Jawa vs Lampung
- Januari 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs
Lampung
- Oktober 2012 : Sidomulyo Lampung Selatan.
Konflik
diatas adalah beberapa konflik yang terhitung besar, selain konflik besar yang
pernah terjadi diatas di lampung juga sering terjadi konflik – konflik kecil
antar suku namun biasanya hal tersebut masih bisa diredam sehingga tidak membesar.
Dari konflik
– konflik kecil tersebut timbullah dendam diantara para suku – suku tersebut
sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah
konflik besar. Pengelompokan suku di daerah lampung memang sudah terjadi sejak
lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja. Di beberapa
sekolah didaerah lampung anak – anak suku bali tidak mau bermain /
bersosialisasi dengan anak – anak suku lainnya begitu juga dengan anak – anak
dari suku jawa maupun lampung. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku
mereka sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tentunya
akan melibatkan suku mereka.
Terkait
degan bentrokan di Lampung Selatan, Minggu (28/10/2012), Divisi Humas Mabes
Polri hari ini, Senin (29/10/2012) merilis kronologis resmi versi Polisi
terkait bentrokian tersebut melalui laman online humas mabes polri di www.polri.go.id.
Berikut
kronologis lengkap bentrok yang merenggut 3 nyawa tersebut :
Pada
hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di desa Sidorejo kecamatan
Sidomulyo kabupaten Lampung Selatan, telah terjadi bentrokan antara warga suku
Lampung dan warga suku Bali.
Kronologis
kejadian : Pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 2012 pukul 17.30 WIB telah
terjadi kecelakaan lalu-lintas di jalan Lintas Way Arong Desa Sidorejo (Patok)
Lampung Selatan antara sepeda ontel yang dikendarai oleh suku Bali di tabrak
oleh sepeda motor yang dikendarai An. Nurdiana Dewi, 17 tahun, (warga Desa Agom
Kec. Kalianda Kab. Lampung Selatan berboncengan dengan Eni, 16 Th, (warga desa
Negri Pandan Kec. Kalianda Kab. Lampung Selatan).
Dalam
peristiwa tersebut warga suku Bali memberikan pertolongan terhadap Nurdiana
Dewi dan Eni, namun warga suku Lampung lainnya memprovokasi bahwa warga suku
Bali telah memegang dada Nurdiana Dewi dan Eni sehingga pada pukul 22.00 WIB
warga suku Lampung berkumpul sebanyak + 500 orang di pasar patok melakukan
penyerangan ke pemukiman warga suku Bali di desa Bali Nuraga Kec. Way Pani.
Akibat penyerangan tersebut 1 (satu) kios obat-obatan pertanian dan
kelontongan terbakar milik Sdr Made Sunarya, 40 tahun, Swasta.
Pada
hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB, masa dari warga suku
Lampung berjumlah + 200 orang melakukan pengrusakan dan pembakaran rumah
milik Sdr Wayan Diase. Pada pukul 09.30 WIB terjadi bentrok masa suku Lampung
dan masa suku Bali di Desa Sidorejo Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung
Selatan.
Akibat
kejadian tersebut 3 (tiga) orang meninggal dunia masing-masing bernama: Yahya
Bin Abdul Lalung, 40 tahun, Tani, (warga Lampung) dengan luka robek pada bagian
kepala terkena senjata tajam, Marhadan Bin Syamsi Nur, 30 tahun, Tani, (warga
Lampung) dengan luka sobek pada leher dan paha kiri kanan dan Alwi Bin Solihin,
35 tahun, Tani, (warga Lampung), sedangkan 5 (lima) orang warga yang mengalami
luka-luka terkena senjata tajam dan senapan angin masing-masing : An.
Ramli Bin Yahya, 51 tahun, Tani, (warga Lampung) luka bacok pada
punggung, tusuk perut bagian bawah pusar, Syamsudin, 22 tahun, Tani, (warga
Lampung) Luka Tembak Senapan Angin pada bagian Kaki. Ipul, 33 tahun, Swasta,
(warga Lampung) Luka Tembak Senapan Angin pada bagian paha sebelah kanan dan
Mukmin Sidik, 25 tahun, Swasta, (warga Lampung) luka Tembak Senapan Angin di
bagian betis sebelah kiri.
Kasus
ditangani Polres Lampung Selatan Polda Lampung.
Mungkin
dengan kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi para penduduk lampung untuk
melakukan instropeksi diri masing – masing. Banyak warga asli lampung
mengatakan para pendatang didaerah mereka tidak tahu diri, tidak sopan atau
menghargai mereka sebagai penduduk asli. Begitu juga dengan warga pendatang
jangan karena merasa mereka memiliki kelompok yang banyak dan memiliki
solidaritas yang besar terus bersikap semena – mena terhadap suku lainnya
karena walau bagaimanapun mereka adalah pendatang / tamu dan layaknya seorang
tamu tentu harus menghormati tuan rumah.
Segala
macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meredam konflik di Lampung,
sering diadakannya pertemuan antar ketua adat di lampung ternyata belum mampu meredam
konflik – konflik yang sering terjadi, hal tersebut terjadi karena diantara
mereka sebenarnya saling menyimpan dendam.
FAKTOR
PENYEBAB KONFLIK
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang
merasa terhibur.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang
berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya
akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang
berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan
bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal
perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai
tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian
waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Asumsi setiap orang
memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik.
Terdapat 5 kecenderungan:
• Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman
• Kompetisi: konflik memunculkan pemenang
• Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi
kerugian
• Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi untuk mempertahankan hubungan
• Kolaborasi: mementingkan dukungan & kesadaran pihak lain untuk bekerja
bersama-sama.
STRATEGI
PENYELESAIAN KONFLIK
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi
ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua
macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau
mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose
orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang
memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha
memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan
kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua
kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini
adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan
integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan
penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.
http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-penyelesaian-konflik/